Ternyata sejak tahun 1970-an Emha Ainun Nadjib sudah memiliki pemikiran yang jauh ke depan mengenai bangsa kita. Emha sangat bersedih bahwa "zaman edan" tiga dekada lalu sudah membuat kepala pusing, tetapi sekarang ini "zaman edan" malah membuat kepala kita pecah! Keprihatinan dan konsistensi pemikiran Emha terhadap masalah sosial budaya bangsa ini membuat kita lebih sensitif. Lebih peduli pada persoalan mendasar yang dihadapi masyarakat sehari-hari. Pemikiran reflektif Emha seolah mendialogkan kembali pemikiran masa lalu dengan realitas sekarang, bahkan di masa mendatang.
Emha Ainun Nadjib,lahir di Jombang, Jawa Timur, pada tanggal 27 Mei 1953, sebagai anak keempat dari 15 bersaudara. Ia mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Modern Gontor dan meneruskan ke Universitas Gadjah Mada (hanya sebentar). Pada 1970 - 1975 hidup menggelandang di Malioboro, Yogya, ketika belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi. Dan pernah menjadi redaktur harian Masa Kini (Yogyakarta), pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta), dan grup musik Kyai Kanjeng hingga kini. Ia mengikuti berbagai festival puisi antara lain di Belanda dan Jerman. Karyanya yang diterbitkan Gramedia adalah Trilogi Doa Mencabut Kutukan.