Di dalam masyarakat Jawa, perkembangan buah kelapa yang terdiri dari beberapa
tahap punya namanya masing-masing. Berawal dari bunga kelapa yang
disebut manggar, lalu tumbuh menjadi bluluk, kemudian cengkir, berlanjut
menjadi degan (kelapa muda), lalu akhirnya buah kelapa yang sebenarnya.
Bak pertumbuhan buah kelapa ini, tahapan-tahapan pemahaman manusia terhadap
agama pun demikian—khusus dalam Islam, kita mengenal anak-anak tangga
pemahaman yang berawal dari syariat, lalu tarekat, kemudian hakikat, dan
akhirnya makrifat.
Sebagaimana buah kelapa yang sudah berkembang sempurna, yang setiap bagian
dirinya bermanfaat bagi manusia, demikian pula mereka yang memiliki tingkat
pemahaman agama paling tinggi. Jangan tanya keimanan, wawasan agama atau
ibadahnya; melangkaui semua itu, fokus hidupnya adalah melepaskan
masyarakatnya dari penderitaan, kemiskinan, kebodohan. Sebagaimana kelapa
menghasilkan santan yang gurih kental, yang terlahir dari dirinya hanyalah
manfaat besar bagi sekitar.
Sayang sekali, menurut Emha Ainun Nadjib, sebagian besar umat saat ini baru
memiliki pemahaman ilmu agama pada tingkat bluluk. Bentuknya sudah seperti
buah kelapa, namun ukurannya masih kecil, dagingnya pun belum ada, jangankan
menghasilkan santan yang lezat. Para bluluk ini masih memandang agama sekadar
sebagai hukum halal-haram, itulah sebabnya mereka paling cepat menyalahkan,
bahkan mengafirkan, kalau mendapati praktik agama yang berbeda dengan
keyakinannya.
Buku ini antara lain mengungkapkan keprihatinan Emha Ainun Nadjib tentang
fenomena bluluk itu.