Harga Resmi | : | Rp. 80.000 |
Harga | : | Rp. 52.000 (35% OFF) |
Ketersediaan | : | Stock di Gudang Supplier |
Format | : | Soft Cover |
ISBN | : | 6027926236 |
ISBN13 | : | 9786027926233 |
Tanggal Terbit | : | 20 April 2016 |
Bahasa | : | Indonesia |
Penerbit | : | Imania |
Halaman | : | 266 |
Dimensi | : | 155 mm x 235 mm |
Perang Bubat tak hanya menyisakan dendam, tapi juga mengubah tatanan. Kerajaan Galuh dipindahkan untuk menyelamatkan Ratu Galuh. Raden Pamanah Rasa lahir di antara pusaran itu. Sebagai Putra Mahkota, ia disiapkan ayahandanya—Prabu Anggalarang—untuk menyongsong takdir: menyatukan Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda. Raden Pamanah Rasa berdiri di atas obsesi tokoh kontroversi seperti Amuk Murugul. Ia kemudian dipertaruhkan ketika para raja nusantara meminta menjadi mediator menghadapi Portugis yang berwajah ganda—pengusaha yang dipersenjatai, berdagang tapi harus menyebarkan agama.
Jauh sebelum itu, kerikil tajam mengadang mulai dari iri dengki kakaknya sampai Perang Cogreg yang menurunkan Rakean Ningrat Kancana dan Rakean Rahyang Kancana dari kedudukan sebagai Ratu dan Resi. Keberhasilan perjalanan Raden Pamanah Rasa adalah ketika mendapat gelar dari Sunan Rumenggong—Sri Paduka Maharaja Prabu Guru Gantangan Sang Sri Jaya Dewata—menandai posisi Rama Agung silih diduduki tiga orang yaitu Mundinglaya, Mundingwangi, dan Mundingsari. Kisah yang tak banyak diungkap dalam sejarah nasional, selain dalam cerita lisan.
***
“Sejarah atau novel, saya tak peduli! Yang penting buku ini sudah membawa dan memberikan wawasan baru mengenai KASUNDAAN pada zaman Pajajaran. Saya mengimbau dan merekomendasikan kepada semua Wangsa Sunda yang peduli akan budayanya dan Kasundaan untuk membacanya. Nuhun, Ki Enang!”
—Ki H. Dr. Iwan Natapradja, Ketua Umum Yayasan Kedubayaan Sawala Kandaga Kalang Sunda Padukuhan Pakujajar, Ciwidey
“Novel karya pengamat kebudayaan Sunda, E. Rokajat Asura, membuktikan bahwa history is stranger than fiction—sejarah lebih ajaib dari fiksi. Kearifan budaya Pasundan yang indah dan adiluhung dihidupkan kembali dalam kisah heroik Raden Pamanah Rasa—Prabu Guru Gantangan Sang Sri Jaya Dewata—sebuah cerita yang memiliki ruh dan jiwa leluhur Parahyangan. A great achievement!”.
—Peter Carey, penulis biografi Pangeran Diponegoro: Kuasa Ramalan (2012) dan Takdir (2014)
“Sejarah bukanlah sekadar kejadian di masa lalu, sesungguhnya ia merupakan ‘ruh’ yang mewarnai kehidupan suatu bangsa, maka bangsa yang beradab tidak pernah melupakan kisah sejarah para leluhurnya. Dalam novel Raden Pamanah Rasa ini banyak tersaji nama tokoh sejarah di zaman kerajaan dan itu membantu mengingatkan kita kepada ‘jati diri dan ciri-ciri kebangsaan’ yang dibentuk oleh keberadaan sejarah kerajaan besar beserta tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya. Selain gambaran sejarah, melalui novel ini E. Rokajat Asura sebagai penulis mampu mengungkap dan menuturkan dengan baik nilai-nilai filosofi adiluhung yang disisipkan melalui jalan cerita, bahkan cukup banyak peristilahan dengan sengaja tidak diganti ke dalam bahasa Indonesia agar tidak mengurangi makna yang sesungguhya.”
—Lucky Hendrawan, Dosen, Budayawan, Pendiri Komunitas Bumi Dega Sunda Academy
“Raden Pamanah Rasa, kisah berlatar sejarah nusantara yang digali dari sumber tradisi lisan, memang sangat pelik untuk diungkapkan dalam kondisi kekinian. Setidaknya diperlukan gaya ungkap yang memadukan alur rasional, emosional, dan spiritual. Sebagai penulis yang kampiun, E. Rokajat Asura sudah melesat jauh melebihi genre-nya. Keyakinan ia dalam menggali sumber kisah, bukan hanya mengandalkan modalitas auditif, melainkan visual dan kinestetik. Ia melumatkan secara kritis dirinya dalam sumber, sehingga misi kisah menghunjam jantung perenungan dan mendobrak kesadaran akan kejatidirian. “
—Dr. Mamat Supriatna, M.Pd., dosen Etnopedagogik Sekolah Pascasarjana UPI
“Dengan pengungkapan perjalanan kesejarahan dan alur pemaparan bahasa yang sederhana, novel Raden Pamanah Rasa ini memudahkan bagi pemula yang ingin belajar sejarah. Tapi untuk kalangan yang telah memahami alur sejarah yang pernah dibaca sebelumnya selama ini, buku ini terlalu cepat sehingga pesan sejarah yang dipaparkan melalui indikasi sejarah terasa berat. Barangkali akan lebih baik lagi jika dibuat dalam dua buku, Sapta Panta memungkinkan untuk menyampaikan ajaran dalam sejarah tersampaikan dengan sempurna.”
—Juhana Kamri, Budayawan, Dosen Seni Rupa ITHB dan Institut Teknologi Nasional, Bandung
“Novel berjudul Raden Pamanah Rasa—dalam konteks Sunda—Siliwangi—Padjajaran merupakan episode The Last Kujang di abad XVI—karya Kang Enang Rokajat Asura/ERA ini, bahasa ‘rasa’nya muncul pada pengungkapan tulisan dari bahasa ibunya, bahasa Sunda. Kecerdikan Kang ERA dalam menata data sejarah ke dalam bentuk novel, patut diacungi jempol. Sejarah yang mana, dari mana, bagaimana tingkat kesahihannya, dipadu dengan data yang berasal dari tradisi lisan menjadikan ‘sejarah’ Raden Pamanah Rasa yang putus kejadiannya menjadi hidup dan berkesinambungan. Tulisan ERA mengajak kita untuk berani mempertaruhkan bahwa tradisi lisan patut diperhatikan dengan saksama keberadaannya. Tak pernah berjumpa dalam sejarah sepanjang masa, seorang tokoh yang diakui dengan multi keyakinan seperti Raden Pamanah Rasa.”
—Ir. Rd. Roza Rahmadjasa Mintaredja IAI., Dewan Karamaan Badan Musyawarah Sunda Pusat , Lembaga Adat Karatuan Padjadjaran, Alumnus Daya Mahasiswa Sunda (DAMAS), Pemerhati Budaya, dan Arsitek
“Penulisan buku cerita sejarah sangat penting untuk terus digali sebagai kajian historis dari sumber yang dapat dipercaya. Novel ini menggambarkan periodesasi kepemimpinan Raja-raja Sunda masa lalu yang memiliki karakter ‘teuas peureup lemes usap, pageuh keupeul lega awur’ yaitu kepemimpinan yang memiliki keteguhan dalam berprinsip dengan tetap menjunjung tinggi makna welas asih, serta memiliki jiwa yang bersahaja yang tetap memikirkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Adakah pola kepemimpinan seperti itu dapat menjiwai para pemimpin negeri saat ini?
—Pangeran Jati Kusuma, Tri Panca Tunggal Cigugur, Kabupaten Kuningan