"Aih, Tiek, kelewatan deh kamu! Dia kan pantas jadi bokap kita!"
"Ah, kuno! Cinta sih nggak kenal umur!".
"Cinta? Nggak salah denger nih, Tiek? Masa kamu cinta sama oom-oom yang sudah karatan gitu?! "Huu, karatan juga masih tokcer! Mesinnya masih standar, bodinya juga masih mulus!".
"Mending dia mau sama si Atiek!" potong Tia separuh mengejek.
"Tampang dobel bravo gitu!". "Dia malah menjanjikan peran utama di filmnya yang terbaru, tahu nggak?!".
"Sudah janji sih masih perlu dites! Sama aja bohong!".
"Eh, mau taruhan?". Atiek yang bebas, badung, dan manja, memang selalu bermusuhan dengan Tia yang cantik, cerdas, tapi judes.
Dalam ajang persaingan yang panas memperebutkan juara kelas dan kesempatan main film, kehidupan remaja mereka tambah bergalau dengan munculnya empat orang pria. Aris yang kuper. Anto si slonong boy. Toni sang spesialis ganda. Dan Hartono, senja yang memimpikan fajar. Sampai suatu saat mereka menemukan sebuah titik pertemuan. Titik perdamaian yang dibawa oleh Ibu Tia, salah satu di antara segelintir orangtua yang mendidik anaknya bukan dengan segebung nasihat dan larangan, tapi dengan teladan dan penuh pengertian.
Mira W lahir dan dibesarkan di Jakarta, menempuh dan menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Trisakt, Jakarta. Sekarang bertugas di Universitas Prof.Dr.Moestopo sebagai staf pengajar merangkap dokter di Klinik Karyawan dan Mahasiswa. Mulai menulis cerpen di majalah-majalah ibukota seperti Femina, Kartini, Dewi, dan lain-lain sejak tahun 1975, dengan nama M.Wijaya. Cerpennya yang pertama berjudul Benteng Kasih, dimuat dalam majalah Femina tahun 1975. Menulis novel sejak tahun 1977, mula-mula dimuat sebagai cerber di majalah Dewi dengan judul Dokter Nona Friska, kemudian dibukukan dengan judul Kemilau Kemuning Senja dan pernah difilmkan dengan judul yang sama. Novelnya yang kedua berjudul Sepolos Cinta Dini, pernah dimuat sebagai cerber di harian Kompas tahun 1978, kemudian dibukukan oleh Gramedia. Istimewanya, hampir semua novelnya sudah difilmkan dan disinetronkan.