Franz Magnis-Suseno menanggapi sekian masalah yang dihadapi bangsa Indonesia delapan tahun terakhir ini. Ada tulisan tentang demokrasi dan pluralisme, Supersemar, kekerasan atas nama agama, undang-undang penodaan agama dan antipornografi. Juga tantangan terorisme, sikap terhadap kejahatan pasca-G30S, filsafat wayang, hukuman mati, dan eksekusi Tibo dkk. Termasuk tantangan Papua bagi bangsa Indonesia, Pancasila, soal tenaga nuklir, sampai masalah mengantuk.
Seluruh tulisan ini dilihat dari sudut pandang etika. Penulis mempertanyakan bagaimana sikap-sikap dan kejadian-kejadian itu dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Tulisan-tulisan ini dimaksud sebagai ajakan agar sebanyak mungkin saudara dan saudari sebangsa melibatkan diri secara kritis, penuh komitmen, dan semangat positif pada kemajuan bangsa Indonesia.
Kalau kita mengharapkan agar bangsa Indonesia menempuh jalan ke masa depan secara terhormat, dengan tidak mengurbankan integritasnya, atas dasar kemanusiaan yang adil yang beradab, kita harus mengatasi sudut pandang yang semata-mata pragmatis karena pragmatisme pada akhirnya adalah sudut pandang kepentingan mereka yang kuat dan kuasa.
Franz Magnis-Suseno SJ, rohaniwan, guru besar emeritus Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara di Jakarta, lahir tahun 1936 di Jerman, sejak tahun 1961 hidup di Indonesia. Aktif dalam pelbagai forum antar-agama dan terlibat dalam pencarian etika kehidupan bangsa untuk abad ke-21 ini. Sudah menulis lebih dari 600 karangan populer dan ilmiah dan 36 buku, terutama dalam bidang etika, filsafat politik, dan pandangan dunia Jawa, di antaranya Dari Mao ke Marcuse: Percikan Filsafat Marxis Pasca-Lenin (2014); Berebut Jiwa Bangsa. Dialog, Perdamaian, dan Persaudaraan (2006); Etika Abad ke-20: 12 Teks Kunci (2006); Menalar Tuhan (2005); Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19 (1997); Etika Jawa. Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (1984)