Apa yang kita petik hari ini adalah yang kita tanam kemarin. Apa yang kita miliki atau tak kita miliki sekarang adalah hasil dari yang kita semaikan sebelumnya. Apa yang kita syukuri dan kita sesali, adalah hasil dari pilihan kita dahulu untuk menyirami atau membiarkannya kering. Teman-teman di Markas Maiyah menugasi saya untuk menuliskan secara berkala rentang proses yang saya semaikan, tanam dan siram, sejak era Dipowinatan, Kadipaten, Patangpuluhan, Kasihan, hingga Kadipiro. Termasuk cerita di balik kelahiran KiaiKanjeng dan Dinasti. Tujuannya supaya semua yang mengenyam buah, mengerti kembang dan daun kisahnya, ranting dan dahan kisah sejarahnya, serta batang pohon dan akar asal-usulnya, bahkan tanah bumi dan kebun surga sangkan paran-nya. *** Buku ini merupakan catatan ingatan Emha Ainun Nadjib tentang bagaimana benih sebuah komunitas dituai dan ditumbuhkan. Sebuah memoar yang menceritakan masa muda Emha ketika bertemu dengan berbagai sosok penting dalam hidupnya
Emha Ainun Nadjib,lahir di Jombang, Jawa Timur, pada tanggal 27 Mei 1953, sebagai anak keempat dari 15 bersaudara. Ia mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Modern Gontor dan meneruskan ke Universitas Gadjah Mada (hanya sebentar). Pada 1970 - 1975 hidup menggelandang di Malioboro, Yogya, ketika belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi. Dan pernah menjadi redaktur harian Masa Kini (Yogyakarta), pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta), dan grup musik Kyai Kanjeng hingga kini. Ia mengikuti berbagai festival puisi antara lain di Belanda dan Jerman. Karyanya yang diterbitkan Gramedia adalah Trilogi Doa Mencabut Kutukan.