Sama halnya dengan Persatuan, perbedaan adalah suatu keniscayaan! Islam sangat menoleransi aneka perbedaan yang ada di kalangan pemeluknya. Penghargaan Islam terhadap perbedaan lahir dari keyakinan bahwa perbedaan bukanlah penghalang bagi terciptanya persatuan. Perbedaan tidak identik dengan perselisihan. Perbedaan baru menjadi persoalan serius jika disertai dengan fanatisme buta. Fanatisme semacam inilah yang kerap memicu terjadinya perpecahan.
Sunnah dan Syiah adalah dua aliran besar Islam yang lahir dari Islam yang satu. Sebagai dua saudara, masing-masing memiliki persamaan, juga perbedaan, dari mulai persoalan teologis sampai persoalan yang bersifat furu'iyah (rincian ajaran). Perbedaan keduanya lebih sering kita dengar ketimbang persamaannya. Betulkah demikian, bahwa perbedaan antara Sunnah dan Syiah itu lebih besar daripada persamaannya sehingga mustahil untuk mendamaikannya?
Buku ini mengkaji secara kritis konsep ajaran dan pemikiran antara Sunnah dan Syiah. Di dalamnya dikupas persoalan-persoalan krusial seperti:
• Rukun Iman dan Islam kedua aliran, Sunnah dan Syiah.
• Imamah
• Sikap terhadap para sahabat Nabi saw.
• Raj'ah, Bada', dan Taqiyah
• Perbedaan dalam Furu' (rincian ajaran)
Buku ini tidak dimaksudkan untuk mengajak mereka yang bermazhab Sunnah menyeberang ke mazhab Syiah, atau dari Syiah ke Sunnah, atau melebur keduanya menjadi satu. Tetapi ia berisi pemaparan untuk menguak kemungkinan-kemungkinan yang bisa ditempuh keduanya, Sunnah dan Syiah, untuk bekerja sama dalam koridor persatuan, ISLAM. Mungkinkah? Jawabannya bisa Anda dapatkan setelah membaca buku ini!
Nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab. Ia lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang, Sulawesi Selatan.[1] Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar. Ayahnya, Prof. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang ulama, pengusaha, dan politikus yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Kontribusinya dalam bidang pendidikan terbukti dari usahanya membina dua perguruan tinggi di Ujungpandang, yaitu Universitas Muslim Indonesia (UMI), sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di kawasan Indonesia bagian timur, dan IAIN Alauddin Ujungpandang. Ia juga tercatat sebagai rektor pada kedua perguruan tinggi tersebut: UMI 1959 - 1965 dan IAIN 1972 - 1977.