Tatkala Dwo terpaksa menikahi gadis yang dihamilinya, pacarnya Wulandari merasa amat risi dan tertekan kerena setiap orang di Tawangmangu merasa iba kepadanya. Harga dirinya sangat terluka oleh perhatian berlebihan itu karena sebenarnya dia bukan gadis rapuh yang patut dikasihani. Perlakuan orang-orang di sekelilingnya itu, justru membuat Wulan merasa dirinya pecundang, orang yang terkalahkan dan tersingkirkan. Oleh sebab itulah ia tidak sudi menumpahkan air mata hanya untk menangisi kekasih yang tidak setia.Tetapi ternyata Wulandari keliru. Menangis itu perlu. Karenanya ketika Eko mampu menyibak konflik yang ada di batinnya, tangisnya pun akhirnya tumpah di atas dada laki-laki itu. Dan dalam perjalanan waktu, keakraban mereka berkembang menjadi cinta yang tumbuh dengan suburnya. Persamaan kisah, minat, dan cara pandang mematrikan hati mereka berdua.Namun sayang, Tawangmangu bukanlah Jakarta. Kisah cinta antara Wulandari, anak pemilik perkebunan yang kaya raya, dan Eko, anak salah seorang mandor perkebunan itu, sulit diterima oleh keluarga kedua belah pihak maupun oleh komunitas setempat. Terlebih karena sistem nilai feodalisme masih begitu kuatnya dalam hierarki dunia perkebunan dan darah priyayi tinggi yang mengalir di tubuh Wulandari terlalu kental.
Maria A. Sardjono sudah menulis sejak remaja tetapi baru dipublikasikan mulai tahun 1974. Hingga kini karyanya berjumlah 80 buku, sebagian dimuat sebagai cerita bersambung terlebih dulu, 150 cerpen, belasan cerita anak-anak, beberapa naskah sandiwara radio, satu buku ilmiah, dan puluhan artikel tentang berbagai macam topik. Ia adalah sarjana Filsafat Sosial Budaya dan master di bidang Filsafat Humaniora. Ia menikah dengan A.J.Sardjono dan dianugerahi empat putra yang semuanya sudah beranjak dewasa